Harapan pemerintah dengan diterbitkannya Undang-Undang No.20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah sebagai produk hukum yang sangat diperlukan bagi Pemerintah dalam upaya membina dan memfasilitasi pelaku usaha termasuk UKM. Melalui pengaturan Undang-Undang ini akan meningkatkan mutu produk sehingga mempunyai daya saing yang kuat dan bisa memenangkan dalam persaingan di pasar global. Dan dengan lahirnya Undang-Undang No.20 tahun2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian akan menjadi dasar yang strategis dalam upaya meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum.
Idealisame dibalik penerbitan Undang-Undang No.20 tahun2014 merupakan salah satu alat untuk meningkatkan mutu, efisiensi produksi, memperlancar transaksi perdagangan, mewujudkan persaingan usaha yang sehat dan transparan, kepastian usaha serta kemampuan inovasi teknologi. .
Perubahan dalam perdagangan internasional sudah mengarah pada kebutuhan akan standar dan penilaian kesesuaian yang diterima secara global. Maka peran standar di pasar mewujudkan persaingan usaha yang sehat, peningkatan mutu dan daya saing industri dalam negeri
Dalam era perdagangan bebas peran standar dan penilaian kesesuian dituntut tumbuhnya kepercayaan, keterbukaan dan kompetensi dalam penilaian kesesuaian yang dilakukan oleh badan akreditasi yang kompeten.
Harapan penerapan SNI lampu LHE secara wajib.
Lampu swabalasat atau dikenal juga sebagai lampu CFL (compact fluorescent lamp) atau yang lebih popular dikenal oleh masyarakat umum sebagai lampu LHE mempunyai acuan standar yaitu SNI 04-6504-2001. Pada tahun 2001 dan atas usulan asosiasi lampu saat itu oleh Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 377/MPP/Kep/11/2001 dan perbarui dengan Peraturan No.442/MPP/Kep/5/2002 tentang penerapan secara wajib SNI 04-6504-2001. Sejak diterbitkannya peraturan tersebut , maka semua lampu yang beredar di pasar dalam negeri harus bertanda SNI 04-6504-2001 dengan harapan-harapan dari industri dalam negeri seperti yang diusulkan oleh pelaku usaha pada saat itu.
Pada awalnya usulan penerapan SNI LHE secara wajib bertujuan untuk menghilangkan beredarnya produk LHE yang abal-abal dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Produk ini jelas akan merugikan konsumen dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dengan industri yang taat aturan.
Dengan adanya persaingan sehat maka diharapkan akan terbentuk iklim usaha yang mendukung pertumbuhan industri dalam negeri dan investasi tentunya. Ujung-ujungnya penciptaan lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Harapan lain adanya penerapan secara waajib SNI lampu LHE adalah agar pasar dalam negeri tidak dikuasai sepenuhnya oleh lampu LHE impor, yang saat itu menguasai pasar domestik hingga 80-90%. Memang harapan ini sejak awal sukar dapat sepenuhnya akan tercapai, karena banyak faktor yang terkait secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhinya. Disamping itu, penerapan wajib tersebut juga diharapkan mampu membendung banjirnya produk impor dari China pada saat keterbukaan pasar dalam negeri dengan adanya penjanjian ACFTA, sesuatu yang diluar kamampuan industri lokal untuk membendungnya.
Review penerapan SNI lampu LHE secara wajib.
Dari data statistik untuk impor lampu LHE dengan nomor HS. 8539.90.20, pada tahun 2010 impor lampu LHE sebesar USD 1.068.041 dan pada tahun 2011 naik menjadi USD.1.522. 450. Selanjutnya pada tahun 2012 impornya melonjak tinggi menjadi USD 15.072.875 dan terus melojak signifikan menjadi USD 158.588.201. Mulai tahun 2014 karena kelesuan ekonomi yang dialami oleh Indonesia impor lampu LHE agak menurun, meskipun masih cukup besar dinikmati oleh industri lampu negara lain dengan impor mencapai USD. 129.992.927.
Jadi harapan agar pasar dalam negeri tidak akan dibajiri oleh produk impor melalui penerapan standar wajib LHE tidak dirasakan dampaknya, bahkan yang terjadi sebaliknya. Demikian pula kalau dilihat dari negara asal, maka China sebagai negara asal impor lampu LHE. (dapat dikatakan 100% dari China), sehingga harapan penerapan SNI lampu LHE untuk mengurangi dominasi China , pada kenyataannya dengan adanya ACFTA sejak tahun 2011, China menjadi satu-satunya negara asal impor dengan melonjak signifikan.
Luas bentang wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, memungkin banyaknya pintu masuk atau pelabuhan yang resmi maupun tidak resmi atau yang disebut pelabuhan tikus. Disamping itu, keterbatasan aparat pengawas, maka lampu LHE illegal juga tidak kalah banyak jumlahnya. Berdasarkan pengamatan dan temuan di pasar atau toko retail di daerah- daerah kecil akan mudah dijumpai produk lampu LHE abal-abal atau tidak sesuai aturan berlaku untuk barang yang beredar dipasar. Produk lampu LHE tidak sesuai SNI terus dapat masuk ke pasar meskipun telah diterbitkan berbagai aturan mulai adanya proses pemeriksaan sebelum dikapalkan (pre-shipment inspection) dan adanya pembatasan pelabuhan tertentu saja yang menjadi pintu masuk impor lampu LHE.
Pada bulan Oktober 2015, Dirjen SPK Kementerian Perdagangan menindak dan menarik produk impor lampu LHE merek Citylamp yang tidak sesuai dengan persyaratan SNI. 04-6504-2001. Adapun produk yang dimusnahkan sebanyak 51.050 buah terdiri dari tipe 2U, 3.750 buah untuk tipe 3U, dan 5.250 buah untuk spiral. Bahkan pada saat timbul isu adanya razia terhadap semua produk tidak sesuai SNI termasuk produk impor lampu LHE tidak sesuai SNI, maka pada waktu yang sama di pusat pertokoan besar di Jakarta ditemukan satu unit toko tetap buka, dan hanya menjual lampu LHE yang tidak mengikukti aturan yang berlaku, seperti tidak memakai tanda SNI, tidak ada label berbahasa Indonesia (masih menggunakan bahasa China) dan tidak ada nomor pendaftaran barang (NPB). Sehingga wajib penggunaan SNI lampu LHE tidak mampu mencegah masuknya barang tidak sesuai SNI secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka.
Salah satu cara yang diharapkan akan efektif dalam penerapan SNI secara wajib dengan meningkatkan pengawasan barang beredar di pasar. Namun demikian, dalam pengawasan untuk barang impor ada permasalahan dengan lokasi dan alamat gudang dan importirnya yang tidak jelas, sehingga merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi petugas. Bagi importir yang nakal dengan mudah menggunakan pola hit and run sehingga menjadi kendala juga bagi petugas, karena dengan mudah mereka menghilangkan jejaknya. Dan diikemudian hari dengan mudahnya mendirikan perusahaan dengan nama lain untuk mengulangi praktek dagang yang tidak lazim. Sementara itu, bagi industri dalam negeri, mempunyai lokasi pabrik yang jelas, sosok penanggungjawabnya jelas, dan karyawannya ada. Ternyata kejelasan keberadaannya dapat menjadi masalah tersendiri juga, sehingga pengawasan yang tanpa ada pembinaan lebih dulu menjadi beban dan trauma dalam melakukan bisnisnya. Sehingga timbul persepsi negatif terhadap kebijakan penerapan SNI secara wajib. Selanjutnya timbul apatisme dan pesimisme terlebih dahulu kepada setiap kebijakan yang diterbitkan meskipun dilatarbelakangi dengan upaya kearah perbaikan.
Pada akhirnya, tidak tercapainya harapan dengan adanya penerapan SNI lampu LHE dari sekitar 30 pabrik lampu LHE diawal tahun 2008-2009 beberapa pelaku usaha menutup pabriknya di Indonesia dan beralih profesi sebagai importir, karena sebagai importir mempunyai minimal resiko tetapi maksimal pendapatan. Sehingga pada saat ini, pabrik lampu dalam negeri tinggal kurang dari 15 pabrik yang masih bertahan, dengan tingkat utilisasi kurang dari 15%. Oleh karena itu, perlu adanya review atau kajian lebih lanjut terhadap efektifitas penerapan SNI lampu LHE secara wajib, agar diperoleh simpul permasalahan sebagai masalah utama yang harus jadi prioritas dicarikan solusinya untuk bahan pembelajaran bagi perumusan kebijakan penerapan SNI secara wajib untuk produk lainnya.
Wacana penerapan SNI lampu LED.
Sejak tahun 2010, teknologi lampu LED mulai dikenal oleh industri dalam negeri. Sejak saat itu, pelaku usaha mulai mempelajari karakteristik dari lampu LED. Ada yang mulai mencoba merakitnya di pabrik bekas line produksi lampu LHE, karena mulai dirasakan kelesuan pasar lampu LHE. Lampu LED mempunyai bentuk dan ukuran yang bervariasi. Namun demikian jauh lebih dinamis bentuk dan penggunaannya dibandingkan dengan teknologi sebelumnya.
Prospek lampu LED secara pasti akan menggantikan lampu LHE dan atau jenis lampu lainnya. Saat ini, sudah sangat mudah diperoleh lampu LED dengan berbagai bentuk, harga,dan mutu. Pabrikan lampu lokal saat ini juga mulai secara terencana menuju ke arah produksi lampu LED. Ada yang sudah sejak 2 tahun lalu mulai melihat dan merekayasa produk baru lampu LED serta membangun supply chain dengan beberapa pabrikan potensial dan sudah mulai menguji coba produknya ke lab uji. Oleh karena itu, pada saat ini status industry lampu dalam negeri untuk produksi lampu LED masih tergolong sebagai infant industry.
Disisi aspek importasi, sampai tulisan ini disusun, didalam buku tarif BTKI belum ditetapkan nomor HS untuk lampu LED dan turunannya secara spesifik. Importasi berbagai jenis lampu LED masih menggunakan nomor HS lain. Kepemilikan nomor HS spesifik dari lampu LED akan memberi kemudahaan kepada aparat untuk mengawasi barang masuk dan keluar di pelabuhan. Oleh karenanya, adanya nomor HS yang spesifik untuk semua jenis lampu LED sangat dibutuhkan oleh semua pihak dalam mendukung pembangunan industri lampu LED.
Belajar dari pelaksanaan penerapan SNI lampu LHE, dan selama belum ditemukan faktor-faktor utama yang menyebabkan ketidak efektifknya penerapan wajib SNI lampu LHE, maka wacana penerapan SNI lampu LED menjadi suatu momok dan sebuah ancaman besar bagi kelangsungan hidup industri lampu dalam negeri. Dan persepsi negatif semakin membesar, karena yang mensuarakan paling keras wacana penerapan SNI berbagai jenis lampu LED secara wajib datang bukan dari industri dalam negeri yang sebenarnya.
Mengutip sebagian tujuan penerapan standar didalam Undang-Undang No.20 tahun 2014 antara lain memberi kepastian usaha, meningkatkan daya saing, dan meningkatkan efisiensi produksi. Oleh karena itu,dalam kaidah perumusan kebijakan penerapan SNI secara wajib adalah keharusan memperhatikan secara cermat dan benar kesiapan industri dalam negeri, kesiapan lab uji dalam negeri dan analisis resiko dan manfaatnya. Apabila diperhatikan proses penyusunan SNI, maka semua standar baik standar internasional maupun standar negara lain dan atau hasil penelitian sendiri dapat sebagai acuan dan apabila telah dicapai konsensus dari semua pihak yang harus dilibatkan dalam perumusan naskah SNI, selanjutnya dapat disyahkan oleh BSN. SNI yang memiliki nomor dari BSN, maka secara syah standar SNI itu milik bangsa Indonesia dan otomatis berlaku secara sukarela.
Pihak yang sangat berkepentingan dengan SNI adalah industri dalam negeri dan lab uji sebagai pendukungnya.Oleh karena itu, regulator harus mendengar suara dari pemilik SNI yang sebenarnya yaitu industri dalam negeri dan lab uji dalam negeriI, bukan regulator mendengar dan cepat merespon terhadap usulan dari industri negara lain melalui agennya. Akan mudah diperhatikan, dan hampir dapat dipastikan bahwa pemilik teknologi sangat berkepentingan kepada bagaimana memperluas pasarnya dan pasar Indonesia salah satu targetnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya semua pihak menunjukkan semangat keberpihakan kepada industri dalam negeri, yang sejak dulu semangat ini hanya menjadi jargon. Industri yang berjaya dinegeri sendiri sudah terbukti dan tidak terbantahkan menjadi tiang utama untuk menjadi negara yang sejajar dengan negara maju lainnya.
Semoga.