Renungan Akhir Tahun 2017

Memasuki akan berakhirnya tahun 2017, GAMATRINDO mengajak semua pihak untuk merenung sejak masalah kita. Dari serangkain kegiatan yang banyak diikuti, ternyata permasalahan standar mendominasi, yang banyak memakan energi dan waktu. Wacana penerapan standar lampu telah  disampaikan oleh beberapa pihak pada setiap kesempatan pertemuan dengan pihak Pemerintah. Namun sayangnya yang menyampaikan wacana tersebut hanya terbatas dari pihak yang tidak mengetahui betul hitam putihnya standar lampu. Dalam hal ini GAMATRINDO mempunyai banyak pengalaman yang dialami sendiri oleh anggota GAMATRINDO dalam implementasi standar khususnya SNI lampu. Maupun pengalaman keterlibatan dalam diskusi pada beberapa kesempatan dan dari data yang diperoleh.

Apapun jenisnya, suatu industri mempunyai banyak keterkaitan dengan  hajat hidup manusia. Industri mempunyai keterkatian yang sangat luas mulai dari hulu sampai ke hilir. Untuk membangun sebuah industri dibutuhkan dukungan total mulai dari sektor keuangan, pertambangan, energi, ketenagakerjaan, transportasi, sistem perdagangan, perpajakan, keamanan, perijinan, dan berbagai macam bidang jasa lain termasuk peran kosumen. Kasus ini sangat dirasakan di negara Jepang, semua sektor bergerak dengan komitmen yang kuat, mendukung industri lokal agar mendunia. Oleh karena itu, tidaklah salah industri yang tumbuh dan berkembang baik akan menggerakkan ekonomi bangsa tersebut. Sehingga secara tidak langsung dunia juga sepakat dan sudah terbukti di semua negara maju. Bahwa untuk menjadi negara maju yang sejahtera, maka negara tersebut harus mempunyai industri yang kuat. Untuk itu industri yang  belum tumbuh harus ditumbuh kembangkan. Sedangkan industri yang sedang berkembang harus dilindungi dari persaingan tidak sehat. Sehingga kesepakatan dan pemahaman untuk membangun industri  harus kuat dimiliki semua sektor, dan diimplementasi secara all out.

Oleh karena itu, dalam merumuskan setiap regulasi harus dilakukan secara hati-hati dengan kajian manfaat dan resiko yang akan ditimbulkan. Banyak pihak yang akan terlibat dalam penerapan kebijakan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Janganlah seperti yang terjadi di negara kita, yang juga selalu dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo, ribuan regulasi telah diterbitkan dinegara tercintanya ini dan berdampak membelenggu pelaku usaha nasional. Dalam beberapa kasus pelaku usaha  masih dianggap sebagai target dan sapi perahan.

Sebelum tahun 1994 pasar domestik masih belum terbuka seperti saat ini. Pemerintah masih mampu mengendalikan barang impor dan ekspor, baik dengan menaikkan atau menurunkan tarif bea masuk maupun dengan instrumen teknis seperti SNI. Dan pada saat itu mekanisme tersebut dapat diterapkan secara efektip. Tidak ada negara lain yang mampu intervensi kebijakan negara “secara terbuka”. Sehingga timbul paradigama, bahwa penerapan SNI secara wajib mampu melindungi industri dalam negeri. Dan paradigma tersebut masih dibawa sampai saat ini. Namun sejak menjadi anggota WTO pada tahun 1995. Pemerintah juga sangat agresif melakukan perjanjian pasar terbuka bilateral maupun multilateral. Secara bertahap perlahan dan semakin cepat pasar domestik didominasi oleh produk impor, seiring semakin terbukanya pasar. Dan akhirnya barang impor tidak mampu dibendung lagi.

Sesuai dengan ketentuan WTO, dalam rangka mengendalikan impor penerapan technical barrier seperti SNI masih bisa diterapkan. Namun dalam era pasar bebas ini, diperlukan pra-kondisi agar tujuan penerapan SNI secara wajib dapat dipahami oleh semua pihak terkait. Dan regulator tidak dapat hanya melihat satu sisi saja seperti atas nama perlindungan konsumen. Karena di sisi lain ada juga ada kepentingan sektor lain yang akan terlibat dan terkena dampaknya. Kedua sisi masing-masing mempunyai undang-undang. Setiap sektor boleh mempunyai undang-undang. Akan tetapi  harus dihindari atas nama undang-undang melaksanakan apa yang diamanatkannya tanpa mempedulikan undang-undang lainnya. Dampaknya akan dirasakan oleh bangsa dan negara sendiri. Tanpa disadari masing-masing sektor menggunakan undang-undang untuk saling membunuh bangsa sendiri. Akhirnya negara lain yang bertepuk tangan dan pasar domestik dengan mudah dikuasai.

Dengan jargon “globalisasi” semua sektor berusaha untuk membuka diri seluasnya, seolah-olah negara ini tidak mempunyai cita-cita bersama. Seharusnya sejak pasar lokal  menjadi pasar terbuka seperti saat ini, semua sektor harus bergandengan tangan untuk membangun sinergi yang semakin kuat dan membangun musuh bersama. Bukan semakin mudah untuk digerakkan dan bergerak sendiri-sendiri. Sehingga setiap regulasi yang akan dirumuskan harus dikomunikasikan terlebih dahulu terutama dengan pelaku usaha lokal termasuk sektor terkait lainnya. Karena setiap regulasi terbit yang pertama kali kena dampaknya adalah pelaku usaha lokal bukan pelaku usaha asing atau multinasional yang bermodal kuat. Pada  kenyataannya demi mempercepat pembangunan bangsa asing yang menikmati setiap pembangunan di negeri ini. Sehingga sangat susah pelaku usaha lokal terlibat dan bangkit meskipun peraturan-perundangannya secara hitam diatas putih ada senyata-nyatanya.

Banyak pemimpin negeri ini yang mensuarakan pentingnya membangun sektor  manufakturing, pengolahan atau industri untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan menggerakkan ekonomi. Dan sejak menjadi anggota WTO, negara kita seperti paling kencang mensuarakan keterbukaan pasar. Seolah-olah pasar lokal sudah dikuasai oleh industri dalam negeri, yang dianggap  mempunyai akar yang kuat. Industri dalam negeri terus didorong untuk siap memasuki dan mengisi pasar global. Dan pihak pelaku usaha diminta agar tidak cengeng. Akan tetapi kalau para birokrat mau merenung. Adakah yang telah dilakukan regulator secara signifikan untuk menciptakan iklim usaha yang baik. Kalau boleh jujur yang dilakukan oleh regulator masih terbatas pada rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sejak negara Tiongkok terbuka dan menjadi pemasok dunia semua produk industri. Pasar domestik sudah tidak dapat dihindari dari serbuan produk Tiongkok. Semua produk Tiongkok ada disemua jenis produk yang beredar dipasar, dengan harga yang lebih kompetitif dan bermacam kualitas. Industri dalam negeri hanya mengais-ngais segmen pasar yang sangat terbatas dan tidak dimasuki produk Tiongkok. Sementara aksi nyata regulator belum juga dirasakan dampaknya, meskipun sudah berbagai paket kebijakan sudah diterapkan. Sementara itu kemudahan semakin diberikan kepada importir. Mudah-mudahan kemudahan ini tidak mendorong industri berbalik arah menjadi importir saja, yang tidak serumit dan sesulit masalahnya seperti industri.

Semua sektor harus paham bahwa Indonesia mempunyai bentang wialayah yang sangat luas dengan ribuan pulau, sehingga dituntut kemampuan Pemerintah yang didukung oleh rakyatnya untuk mengawasi tidak hanya keutuhan wilayah, termasuk keluar-masuk  barang. Ada 1200 lebih pelabuhan informal yang rawan menjadi akses masuk barang ilegal. Indonesia butuh lapangan kerja, untuk menggerakkan ekonomi. Industri sebagai pencipta lapangan kerja harus tumbuh dengan baik agar dapat menggerakkan ekonomi  bangsa. Peraturan dan perudangan dibuat dipastikan bukan untuk membunuh dan membinasakan bangsanya sendiri.  Setiap sektor dan Kementerian dan Lembaga (K/L) harus memahami situasi iklim usaha yang sesungguhnya, tidak hanya bicara diatas kertas. Semua pihak dan sektor harus mau mendengar semua pelaku usaha lokal. Jangan seperti dijaman penjajahan, semua kata orang asing adalah benar. Hindarilah perilaku seperti “ambtenaar” yang butuh dilayani. Jauhkan diri dari rasa bangga atas nama undang-undang dengan menunjukkan kewenangannya. Memahami bahwa jabatan yang diberikan untuk melaksanakan tugasnya dengan amanah, yang memberi manfaat kepada bangsa dan negara dan mempunyai  tanggung jawab untuk membantu menciptakan lapangan pekerjaan. Marilah kita kembangkan secara konsisten Pasar Domestik Sebagai Basis Pembangunan Industri Nasional. Semoga.