All posts by Triharso

Analisis Dampak Regulasi Standar.

Dasar hukum.

Pihak luar yang mengatasnamakan asosiasi sampai saat ini masih berupaya menekan Pemerintah untuk memberlakukan secara wajib SNI lampu LED swaballas. Sebenarnya sejak tahun 2014 Pemerintah telah menerbitkan Undang Undang No.20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Selanjutnya dibutuhkan empat tahun untuk menerbitkan peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2018 Tentang Sistem Standardisasi dan Peniliaian Kesesuaian Nasional.

Sesuai dengan aturan dan perundangan tersebut, dalam pasal 25 ayat (1), (2) dan (3), diamanatkan bahwa dalam memberlakukan penerapan secara wajib SNI, maka Pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan serta hasil analisis dampak regulasi. Dalam hal ini, GAMATRINDO secara lisan dan tertulis sudah menyampaikan posisinya untuk kesekian kalinya. Untuk itu, dalam tulisan ini, GAMATRINDO secara ringkas memyampaikan analisis dampak regulasi kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas. Tulisan ini mudah-mudahan  memberi gambaran kepada  Pemerintah tentang kemampuan dan kesiapan industri lampu nasional, agar Pemerintah tidak salah dalam menentukan sikapnya tentang penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas, karena menyangkut keberlanjutannya, hidup atau matinya industri lampu dalam negeri.

Kejayaan industri lampu nasional.

Dengan tujuan agar Pemerintah dan semua pihak mendapat gambaran utuh industri lampu nasional, analisis ini diawali dengan sejarah singkat industri lampu dalam negeri, yang pernah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Sejarah industri lampu nasional di Indonesia tidak dapat melupakan  perkembangan PT Sinar Angkasa Rungkut sebagai produsen lampu tertua di Indonesia dengan merek CHIYODA.  Lampu merek CHIYODA,  sudah melegenda dan memantapkan diri di dunia bisnis dan industri lampu di Indonesia dan sampai saat ini masih diproduksi. Salah satu produk yang diproduksi sampai saat ini dan sangat fenomenal  adalah lampu pijar Chiyoda 5 watt untuk dekorasi dan peternakan ayam. Peternak ayam sampai saat ini masih membutuhkan lampu pijar 5 watt. Berdasarkan pengalaman, penggunaan lampu pijar 5 watt memberikan efek panas yang cukup untuk menetaskan telur ayam menjadi anak ayam. PT. Hikari termasuk pemasok lampu pijar 5 watt sampai saat ini.

Pada awal berdirinya, pertengahan tahun 60-an, pemilik perusahaan PT. Sinar Angkasa Rungkut mengawalinya sebagai pedagang eceran  kecil lampu merek Chiyoda, yang selanjutnya berkembang menjadi produsen lampu pada tahun 1975. PT. Sinar Angkasa Rungkut terus  menanamkan investasi dan dukungan SDM yang berinovasi, hingga akhirnya berkembang menjadi  pabrik lampu terpadu. Fasilitas pabrik yang dimiliki terdiri dari pabrik gelas, pabrik filamen, pabrik kaps dan pabrik lampu. Merek CHIYODA pada tahun 1990an mampu menguasai  pasar lampu nasional sebesar 35%.  Produk PT. Sinar Angkasa Rungkut tidak hanya mampu memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) tetapi  juga Standar Internasional. Sehingga kepercayaan dunia juga telah diraih dengan 50 negara  tujuan ekspor antara lain  ke di Australia, Amerika, Eropa dan Afrika.

Perkembangan PT. Sinar Angkasa Rungkut diikuti oleh industri lampu lainnya seperti PT. Hikari. Saat itulah kejayaan industri lampu nasional mulai terwujud. Peningkatan kebutuhan lampu dipasar domestik telah mampu menarik investasi asing, sehingga berdirilah pabrik-pabrik lampu merek terkenal, seperti Philips, Osram, GE.

Pengalaman pahit penerapan secara wajib SNI lampu swaballas/LHE.

Seiring dengan krisis energi dan tuntutan dunia untuk melakukan penghematan energi, maka berkembanglah lampu yang dikenal dengan compact fluorescent lamp (CFL) atau Lampu Hemat  Energi (LHE). Sehingga konsumen pasar dalam negeri juga berubah orientasinya dari lampu pijar berpindah ke LHE. Perubahan ini menyebabkan meningkatnya permintaan lampu LHE. Sehingga industri lampu dalam  negeri mulai tumbuh dan berkembang untuk memperebutkan pasar domestik yang tumbuh pesat. Salah satu yang mendorong investasi di industri lampu LHE yaitu Bea Masuk  15% untuk impor lampu LHE  pada tahun 2005, sesuai program harmonisasi tarif tahap II melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/Pmk.010/2005 Tentang Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk. 2005-2010 Tahap Kedua.

Industri lampu lokal yang mengembangkan diri dengan fasilitas produksi lengkap untuk lampu LHE diantaranya adalah PT. Lighting Solution, PT. Hikari, PT. Panca Adhitya Sejahtera, selain PT. Sinar Angkasa Rungkut.

Dengan tujuan mulia untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan impor,  yang semakin dirasakan dampaknya pada  awal tahun 2000-an dan untuk meningkatkan daya saing, maka atas usulan asiosiasi perlampuan saat itu  Pemerintah menerbitkan kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LHE melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.337/MPP/KEP/11/2001 tentang Penerapan Secara Wajib SNI Lampu Swaballast Untuk Pelayanan Pencahayaan Umum-Persyaratan Keselamatan (SNI 04-6504-2001) dan Revisinya. Mulai saat itu, diharapkan industri lampu dalam negeri semakin tumbuh berkembang dan tidak ada lagi lampu non SNI agar terjadi persaingan yang sehat.

Akan tetapi dari data statistik, impor lampu LHE di tahun 2001 sebesar USD 14,6 juta terus meningkat khususnya dari  China dan puncaknya pada tahun 2006 mencapai USD 45,5 juta, naik rerata selama lima tahun sebesar 15%.

Besarnya pasar domestik juga diperebutkan oleh impor lampu illegal, yang dilakukan dengan berbagai cara mulai dari under invoice, impor borongan, sampai penyelundupan melalui pelabuhan tikus yang tersebar diberbagai wilayah Indonesia. Sehingga kembali industri dalam negeri terpukul dan meminta bantuan Pemerintah agar melakukan pengawasan impor lampu  yang lebih ketat yaitu pemberlakuan Pre-Shipment Inspection (PSI) di pelabuhan muat yang lebih ketat. Pada pertengahan tahun 2007 terjadi penurunan nilai impor, turun drastis hanya mencapai USD 3,1 juta.

Selanjutnya dalam rangka menertibkan importir Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 56/M-Dag/Per/12/2008  Tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Sesuai  peraturan Menteri Perdagangan tersebut, untuk produk lampu LHE hanya boleh diimpor oleh IT-Produk Tertentu (IP), melalui pelabuhan  laut: Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, dan Soekarno Hatta di Makassar; dan/atau  seluruh pelabuhan udara internasional.

Meskipun impor lampu LHE melambat, namun demikian, kembali industri dalam negeri saat itu dibayang-bayangi dengan akan diberlakukannya kesepakatan dagang ASEAN-CHINA (ACFTA)  yang berlaku pada 1 Januari  2010. Sehingga sejak berlakunya kesepakaatan ACFTA semua impor lampu menjadi bebas  (BM 0%), sejak tahun 2010 impor lampu LHE mulai merangkak naik kembali. Sesuai dengan hasil kajian Kementerian Perindustrian tentang Dampak Implementasi CAFTA: Industri Nasional Kian Terancam (24 Maret 2011), maka dari data dilapangan juga diperoleh kesimpulan yang sama bahwa  industri lampu dalam negeri, yang semula importir, tidak mampu bertahan dan kembali menjadi importir. Sebagai importir mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan bertahan menjadi produsen.

Dari angka statistik impor lampu LHE mencapai angka puncaknya yaitu sebesar USD 170,9 juta pada tahun 2013. Kenaikan impor secara legal juga diikuti dengan masih terjadinya impor lampu LHE illegal.  Kementerian Perdagangan pada tanggal 29 Oktober 2015 melakukan pemusnahan 60.000 lampu LHE tidak ber-SNI.

Meningkatnya impor lampu LHE legal maupun illegal pada tahun 2013, berkaitan dengan perkembangan poduksi lampu LED swaballas di China. Saat itu semua pabrik lampu LHE di China mesin peralatannya diganti dengan mesin peralatan untuk memproduksi lampu LED. Dampaknya adalah sisa produksi lampu LHE dilempar ke negara-negara yang pasarnya masih bagus termasuk Indonesia, secara legal maupun ilegal. Bahkan  mesin peralatan lampu LHE yang sudah tidak terpakai ditawarkan kepada industri dalam negeri. Walaupun saat ini lampu LHE sudah mulai diganti oleh lampu LED swaballas, akan tetapi permintaan lampu LHE masih ada. Dalam satu-dua tahun kedepan akan berakhir digantikan oleh lampu LED. Saat ini sudah sangat sulit mendapatkan bahan baku/komponen untuk pembuatan lampu LHE dari China

Pelajaran yang dapat diambil dari hal ini, masuknya barang impor tidak dapat dihambat oleh kebijakan penerapan secara wajib SNI. Struktur industri dalam negeri yang sangat lemah menjadi masalah utama. Struktur industri lemah berakibat kepada ketergantungan impor bahan baku/komponen. Sehingga negara lain yang menjadi sumber bahan baku/komponen dan menguasai teknologi dapat dengan mudah untuk memenuhi apapun standar yang dipersyaratkan  oleh negara tujuan ekspor. Sebaliknya yang terjadi pada industri nasional saat ini, produksi tergantung dari pasokan industri dinegara asal bahan baku/komponen. Kasus virus Covid-19 di negara China saat ini, sudah mulai dirasakan dampaknya dengan terganggunya pengiriman bahan baku/komponen lampu LED yang mengganggu produksi.

Pada era pasar domestik yang terbuka seperti saat ini, kebijakan penerapan secara wajib SNI bukan cara yang efektif untuk menghambat impor. Penguatan struktur industri nasional dan penguasaan teknologi merupakan cara yang ampuh untuk menghambat impor dan menjadi negara yang mandiri, seperti negara China, Korea Selatan saat ini.

Efektifitas Pengawasan.

Pengawasan atas barang yang beredar dipasar yang efektif salah satu prasyarat agar penerapan SNI secara wajib dapat diterapkan dengan efektif pula. Namun demikian,  pengawasan barang beredar dipasar mendapat tantangan berat. Luas bentang wilayah Indonesia dengan ribuan pulau yang tersebar menjadi hambatan yang paling berat harus dapat diatasi. Terdapat lebih 1200 pelabuhan informal yang harus diawasi dan menurut Kementerian Perdagangan terdapat sekitar 130 pelabuhan tikus yang tidak dapat dijangkau oleh pengawasan. (Berita Industri 15 Oktober 2015).

Dilain pihak dalam upaya memecahkan masalah hambatan barang impor di pelabuhan, dwelling time, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 28 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Tata Niaga Impor Diluar Kawasan Pabean (post border). Peraturan ini mempunyai konsekuensi semakin mudah barang impor masuk kepasar dan semakin banyak dibutuhkan aparat pengawasan serta dibutuhkan koordinasi yang lebih baik lintas instansi dan Pemerintah  Daerah. Sementara itu, diakui atau diakui dilapangan, koordinasi lintas sektor sampai saat ini masih jauh dari harapan pelaku usaha, apalagi dengan Pemerintah Daerah. Pelaku usaha yang nakal  melihat celah itu dan dapat memanfaatkannya, agar dapat memasukan barang dengan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Kementerian Perdagangan setiap tahun selalu melaksanakan pengawasan barang yang beredar untuk berbagai produk dan banyak sudah hasil pengawasan yang dimusnahkan. Namun demikian, penyelundupan tetap terjadi dimana-mana. Pada akhir tahun 2019, dari hasil serangkaian pengawasan, Kementerian Perdagangan telah memusnahkan ribuan berbagai barang impor ilegal termasuk lampu karena tidak dilengkapi izin dan tidak ada sertifikat mutu produk sesuai SNI yang berlaku. Nilai ribuan barang impor tersebut mencapai estimasi nilainya hampir Rp15 miliar.

Disisi lain, penerapan secara wajib SNI, ternyata juga dimanfaatkan oleh oknum aparat/petugas pengawas untuk kepentingan pribadi dengan berbagai modus. Banyak peristiwa yang menimbulkan gangguan ketidaknyamanan berusaha bagi produsen dalam negeri. Dalam hal ini, seperti ada oknum pengawas yang hanya memilih produk yang mencantumkan alamat perusahaan yang jelas sebagai objek pengawasan. Pengawasan yang tidak berpihak kepada industri dalam negeri dapat menimbulkan trauma bagi industri dalam negeri termasuk pedagang pengecernya. Pelaku usaha umumnya tidak mau berurusan yang sifatnya berkepanjangan, karena ada resiko terhadap keberlanjutan usahanya didalam negeri.

Oleh karena itu, dukungan Pemerintah melalui konsep pengawasan dalam rangka pembinaan kepada industri dalam negeri sangat dibutuhkan. Agar tidak  menimbulkan kesan pengawasan dilakukan laksana berburu di kebun binatang. Beberapa informasi dari pihak-pihak terkait, pengawasan barang beredar dinegara lain dilaksanakan dengan pendekatan yang bersifat  pembinaan kepada industri dalam negeri, karena menyangkut ketersedian lapangan kerja dan kemandirian bangsa.

Sehingga kebijakan Pemerintah melalui penerapan secara wajib SNI harus diikuti dengan konsep pengawasan barang beredar yang terkoordinasi lintas sektor dan Pemerintah Daerah dalam rangka melindungi industri dalam negeri.

Daya saing.

Sering kita mendengar salah satu tujuan mulia dari penerapan secara wajib SNI adalah meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Sementara itu, pelaku usaha mempunyai rumusan daya saing yang sederhana yaitu daya saing akan meningkat apabila industri mampu membuat barang dengan kualitas sesuai standar atau lebih tinggi dengan harga yang murah atau bersaing dengan barang sejenis.

Dalam kasus lampu LHE, penerapan secara wajib SNI lampu LHE terbukti tidak mampu menurunkan angka impor. Impor meningkat berarti harga barang impor mampu memberikan harga yang lebih kompetitif dibandingkan harga barang lokal dengan kualitas sama. Semenjak dibukanya pasar ASEAN-China, maka semua industri komponen dalam negeri segera tutup. Akhirnya semua komponen lampu lebih ekonomis diimpor dari China. Hal ini sebagai bukti bahwa barang impor lebih kompetitif dan bukti daya saing industri lampu nasional sudah menurun karena bahan baku/komponen harus diimpor.

Maraknya lampu impor illegal telah mempercepat penurunan daya saing industri dalam negeri, yang titik akhirnya adalah penutupan pabrik. Menurunnya daya saing industri lampu di Indonesia diperkuat indikasinya oleh penutupan pabrik lampu  pemilik merek terkenal seperti Osram, Philips, Panasonic dan GE meskipun disertai berbagai alasan. , yang sebenarnya mempunyai modal dan SDM yang kuat. Sementara itu, sampai saat ini pabrik lampu lokal masih mencoba untuk bertahan seperti PT. Sinar Angkasa Rungkut, PT. Lighting Solution, PT. Hikari, PT.Panca Adhitya Sejahtera.

Meskipun bukan penyebab utama penurunan daya saing, namun penerapan secara wajib  SNI terbukti hanya menjadi beban bagi industri kalau tidak didukung oleh kebijakan lintas sektor yang dapat saling melengkapi. Penerapan secara wajib SNI hanya bersifat memberi tanda bahwa produk tersebut sesuai SNI, tetapi  tidak mempunyai korelasi yang kuat dengan peningkatan daya saing.

Lampu LHE dan lampu LED swaballas.

Karakter lampu LHE dan lampu LED swaballas mempunyai kesamaan dalam fungsinya sebagai alat penerangan untuk pencahayaan umum. Dalam aspek standar saftey kedua lampu tersebut  juga mempunyai kesamaan parameter dengan cara uji yang sama namun dalam parameter tertentu terdapat perbedaan seperti parameter fotobiologis/blueray. Perbedaan lain yang menonjol adalah teknologi LED sudah ramah lingkungan dan lebih hemat energi. Tidak diperlukan lagi bahan mercury seperti halnya lampu LHE. Semua bahan baku/komponen diproses dan dirakit menjadi lampu LED swaballas yang lebih aman daripada lampu LHE. Proses perakitan lampu LED swaballas dapat dilakukan secara rumahan, tidak diperlukan fasilitas yang besar dan rumit. Oleh karena itu, di negara China komponen lampu LED swaballas dijual dalam keadaan terurai dan siap dirakit oleh konsumen sendiri dengan peralatan solder sederhana.

Teknologi LED chips sebagai sumber utama cahaya dari semua jenis lampu LED, pada saat ini masih terus dikembangkan. Oleh karena itu,  setiap saat teknologi LED chips yang baru diproduksi akan menjadi sumber inovasi dari pembuatan berbagai jenis dan spesifikasi lampu LED.  Sehingga  tidak mengherankan apabila berbagai bentuk dan spesifikasi lampu LED dapat berubah setiap waktu. Tuntutan dari perubahan cepat teknologi LED chips inilah yang dikuatirkan terganggu oleh system sertifikasi SNI yang masih konvensional, yang masih membutuhkan waktu yang lama dibandingkan perubahan teknologi LED chips.

Sementara itu, pada lampu LHE, teknologi untuk dapat menghasilkan cahaya sudah tidak berkembang lagi, demikian pula bentuk lampu LHE hanya mengalami perubahan pada tabung kacanya diawali dari bentuk U terus berkembang kebentuk ulir.

Oleh karena itu, berdasarkan kondisi iklim usaha saat ini dan pengalaman yang terjadi, maka tidak efektifnya kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LHE harus menjadi bahan pembelajaran dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas.

Kesimpulan:

Berdasarkan hal-hal tersebut dan  realita perjalanan bisnis industri lampu di Indonesia sampai saat ini, maka regulasi penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas mempunyai dampak sebagai berikut:

  1. Tidak akan dapat menghambat impor lampu LED swaballas, karena SNI bukan menjadi hambatan bagi negara yang menguasai teknologi LED chips dan mempunyai industri komponen lampu LED. Seperti negara China saat ini yang menjadi  pemasok utama lampu LED didunia.
  2. Pada saat ini iklim usaha belum mampu mendukung pertumbuhan industri lampu dalam negeri. Realita dilapangan saat ini bahwa menjadi importir jauh lebih nyaman dengan resiko minimal dibandingkan menjadi produsen. Sehingga kebijakan penerapan secara wajib SNI LED swaballas hanya menambah beban biaya  bagi perusahaan untuk bersaing dengan importir, dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja.
  3. Suatu yang tidak bisa dibantah, bahwa perusahaan lampu multinasional dengan modal tidak terbatas sudah hengkang dari Indonesia. Namun dengan merek yang sudah dikenal baik dan dengan memperkuat modal, perusahaan multi nasional, tetap gencar melakukan promosi lampu dipasar domestik. Hal ini, sebagai bukti potensi pasar lampu dalam negeri masih menjanjikan, namun produsen lampu lokal tidak mampu bersaing dengan importir.
  4. Industri berdaya saing adalah industri yang mampu memproduksi barang berkualitas dengan harga bersaing. Daya saing industri hanya dapat ditingkatkan dengan memperkuat struktur industri didalam negeri dan membutuhkan dukungan lintas sektor yang saling melengkapi untuk mewujudkannya.
  5. Banyaknya regulasi yang hanya membebani industri di Indonesia selalu dikeluhkan oleh pelaku usaha termasuk Presiden Joko Widodo. Realita dilapangan sampai saat ini, belum ada kebijakan yang efektif dapat memberi manfaat dan meningkatkan daya saing dan penetrasi pasar kepada industri dalam negeri. Regulasi hanya menambah keruwetan dan beban biaya kepada industri dalam negeri.
  6. Saat ini, industri lampu LED swaballas nasional yang sudah memiliki fasilitas mesin dan peralatan produksi dan bukan hanya sebagai perakitan lampu, jumlahnya tidak lebih dari lima perusahaan, yang masih mencoba bertahan hidup agar tidak terjadi PHK, dengan tingkat utilisasinya kurang dari 10%.
  7. Memperhatikan dinamika perkembangan teknologi LED chips saat ini, maka belum ada negara lain yang sudah menerapkan secara wajib standar safety lampu LED swaballas (SNI IEC 62560:2015). Sehingga, penerbitan kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas dapat dikuatirkan sebagai  bentuk ketidakpahaman terhadap perkembangan teknologi lampu LED atau hanya melanjutkan tradisi kebijakan penerapan secara wajib semua SNI yang sudah diterbitkan.  Kebijakan tersebut sebenarnya sudah tidak sesuai  dalam era industri 4.0.  Saat ini telah berkembang lampu smart LED, yang dapat dikendalikan dari jarak jauh.
  8. Kebijakan penerapan secara wajib SNI lampu LED swaballas berpengaruh kepada nasib dan kelanjutan usaha industri lampu dalam negeri. Untuk itu, dalam pembahasan kebijakan nasional Pemerintah sebagai pembina industri dalam negeri tidak dapat melibatkan pihak lain yang mempunyai kepentingan mewakili industri di negara lain. Pemerintah negara lain juga tidak pernah memberi kesempatan kepada wakil industri dari Indonesia untuk ikut membahas kebijakan penerapan secara wajib standar dinegaranya.
  9. Luas bentang wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar, dan adanya dukungan kebijakan yang lebih memudahkan barang impor masuk, serta permasalahan koordinasi antar instansi/Pemerintah Daerah yang masih jauh dari harapan menyebabkan tidak ada jaminan pengawasan barang non-standar akan efektif.

Analisis ringkas dampak regulasi kebijakan penerapan secara wajib SNI, sesuai yang diamanahkan dalam aturan dan perundangan yang berlaku, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi semua pemangku kepentingan yang masih peduli dengan keberadaan industri lampu di Indonesia. Semoga.

GAMATRINDO terima Tim JICA

Diskusi dengan Tim JICA di kantor GAMATRINDO Tebet, Jakarta (31/07/2019)

Pada tanggal 31 Juli 2019 , pengurus GAMATRINDO menerima tim dari JICA yang terkait dengan proyek pengembangan laboratorium uji dan industri lampu LED, bekerjasama dengan Kemenperin. Rombongan terdiri dari enam orang JICA dan satu orang penterjemah dengan pimpinan rombongan Tomoyuki Yamada sebagai DirekturTeam 1, Private  Sector Development Group,Industrial Development and Public Policy Department, JICA. Setelah saling memperkenalkan diri, maka pihak JICA menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya ke kantor GAMATRINDO di Tebet dengan menjelaskan program kerja dari proyek tersebut.

Proyek ini direncanakan akan berjalan selama tiga tahun dengan kegiatan dan target tahunan. Pada tahun pertama melakukan review standar LED untuk disetting kepada kebijakan mandatory dengan output mandatory untuk SNI LED Driver, SNI LED Connectors, SNI LED Lamps, dan LED Modul. Selanjutnya diikuti oleh program kerja untuk tahun kedua dan ketiga dengan output masing2.

Pengurus GAMATRINDO dalam kesempatan tersebut mengkritisi dan memberi masukan kepada JICA bahwa kemampuan produksi lampu LED dari anggota GAMATRINDO sebetulnya mampu untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, akan tetapi belum ada kebijakan Pemerintah yang efektif mendorong kearah peningkatan pangsa domestik. Hanya regulasi yang dirasakan membebani  industri dalam negeri yang efektif sampai saat ini. Secara ringkas  disampaikan pula pengalaman pahit penerapan SNI lampu CFL yang tidak efektif dan hanya membuat trauma industri dalam negeri. Penerapan secara wajib SNI CFL hanya menimbulkan semakin maraknya penyelundupan.

Pengurus juga  menyampaikan tidak efektifnya penerapan secara wajib SNI luminer lampu sejak tahun 2009 sampai saat ini. Dan GAMATRINDO telah menyampaikan keberatan kepada Menteri ESDM, namun belum secara resmi mendapat tanggapan. Sehingga  memberi pemahaman yang sama diantara Kementerian/ Lembaga menjadi salah satu tugas pengurus, agar terbentuk komitmen nasional dalam membangun industri. Karena membangun industri di Indonesia sangat erat dengan keterlibatan lintas sektor, tidak dapat hanya dibebankan kepada satu Kementerian saja.

Mudah-mudahan apa yang disampaikan secara ringkas oleh  pengurus GAMATRINDO menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi JICA dalam memberikan rekomendasi sebagai hasil dari projek tersebut. Semoga.

GAMATRINDO dalam pameran IndoBuildTech dan Inalight 2019

GAMATRINDO dalam pameran Inalight 2019, PRJ Kemayoran, Jakarta

Secara beruturut-turut anggota GAMATRINDO berpartisipasi  dalam pameran IndoBuildTech tanggal 20-24  Maret 2019 di Indonesia Convention Exhibition  (ICE) BSD City, Tangerang dan Inalight tanggal 4-6 April 2019 di PRJ Kemayoran. Pada kedua pameran tersebut, anggota GAMATRINDO telah memperkenalkan produk-produk barunya.

Untuk pameran IndoBuildTech 2019 merupakan kepesertaan yang pertama kalinya. Dan telah memberikan suasana baru, karena berada diantara peserta yang lebih banyak memamerkan kebutuhan bahan bangunan untuk pembangunan rumah, gedung, kantor dsb. Diharapkan pada kesempatan tahun yang akan datang, bila dimungkinkan untuk dapat berpartisipasi lagi dengan lokasi yang berada ditengah area.

Sementara itu, pada pameran Inalight 2019 merupakan kepesertaan untuk ke-5 kali nya. Setiap tahun sejak tahun 2015 anggota GAMATRINDO selalu ikut dalam pameran Inalight. Dan partisipasi kali ini memberi kesan yang lebih baik dibandingkan tahun 2018. Hal in,  mungkin karena factor lokasi yang labih baik, yaitu didepan pintu masuk utama, sehingga cukup menarik perhatian pengunjung. Namun demikian, sebagai bahan evaluasi semua pihak, bahwa kedatangan pengunjung secara keseluruhan perlu dievaluasi agar tahun mendatang lebih meningkat lagi.

GAMATRINDO atas nama anggota yang telah berpartisipasi pada kedua pameran tersebut,  menyampaikan terimakasih kepada Debindo ITE dan PT.Global Expo Management sebagai penyelenggara yang telah memfasilitasi anggota GAMATRINDO dalam kedua pameran tersebut. Semoga sukses terus dan semakin nyata kontribusinya bagi pembangunan industri lampu dalam negeri. Semoga.

BSN melaksanakan FGD sektor elektronika

BSN melaksanakan FGD sektor industri elektronika untuk mendapatkan masukan bahan roadmap pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian di Jakarta (27/3/2019).

Pada tanggal 27 Maret 2019 di Jakarta, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menyelenggarakan FGD untuk mendapatkan data dan informasi langsung dari pelaku industri sektor elektronika  terkait dengan kendala, kebutuhan dan harapan dibidang standardisasi dan penilaian kesesuaian. Sebagai bahan masukan dalam rangka penyusunan roadmap pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian.  Pengurus beserta anggota GAMATRINDO berkesempatan untuk hadir dalam acara tersebut.

Pembukaan dilakukan oleh Doni Purnomo, Direktur Sistem dan Harmonisasi Akreditasi, BSN, yang juga menyampaikan sekilas perihal era baru tupoksi BSN sesuai Perpres No. 4 Tahun 2018. Salah satu yang menarik dari tupoksi tersebut, yaitu adanya fungsi yang cukup luas yaitu pemantauan dan evaluasi di bidang pengembangan standar, penerapan standar, penilaian kesesuaian, penyelenggaraan akreditasi lembaga penilaian kesesuaian, dan pengelolaan standar nasional satuan ukuran.

Pada kesempatan tersebut, GAMATRINDO secara garis besar menyampaikan agar tidak ada lagi regulasi yang penerapan standar  secara wajib (SNI Luminer) yang tidak memperdulikan kemampuan dan kesiapan industri nasional dan sebagai wujud ketaatan terhadap Undang-Undang No.20 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional. GAMATRINDO juga mengharapkan peran aktif dari BSN dengan tupoksi barunya untuk mengevaluasi kembali kebijakan penerapan SNI yang tidak efektif dan jelas menghambat dalam inovasi dan pengembangan investasinya.

Dari industri lain yang hadir, secara umum mempunyai harapan yang sama agar tidak ada lagi proses birokrasi yang berkepanjangan dalam menerbitkan sertifikat penggunaan SNI dan proses lain yang harus dilengkapi sebelum produknya dapat dipasarkan. Hal ini sangat terkait dengan dinamika perkembangan teknologi yang semakin cepat hampir disemua sektor elektronika. Untuk itu, dengan pengalaman Pemerintah dalam mengembangkan proses satu pintu untuk bidang ijin usaha melalui Online Single Submission (OSS), yang semula pelaku usaha harus berurusan keberbagai K/L di pusat maupun daerah.  Maka peserta FGD yakin dapat dikembangkan  system satu pintu  yang sama dengan OSS untuk proses mulai dari penerbitan sertifikat SNI, NRP, Label Bahasa Indonesia, dsb (yang terkait dengan K/L lain), karena semua kewenangannya berada di K/L pusat. Akhirnya sebaik apapun kebijakan atau regulasi selama itu menjadi beban industri, dengan sendirinya tanpa disuruh industri dalam negeri siap untuk menutup pabriknya dan beralih menjadi importir, yang tidak banyak beban bahkan sekarang impor barang dipermudah..

Akhirnya semoga masukan yang disampaikan oleh industri dalam negeri sektor elektronika, dapat dituangkan kedalam roadmap pengembangan standardisasi dan penilaian kesesuaian. Mudah-mudahan tidak hanya menjadi catatan atau notulen FGD. Semoga.

Kesepakatan 5 asosiasi industri elektronika

Lima asosisasi industri elektronika membuat surat bersama kepada Pemerintah

Pada tanggal 5 Maret 2019 di Jakarta ,  Lima  asosiasi  (GAMATRINDO, APPI, GABEL, AiTI, AIPTI) telah menandatangani surat bersama kepada Pemerintah, terkait dengan adanya pemaparan draft final laporan mengenai limbah elektronika, hasil studi oleh ITB yang didukung oleh UNDP. Dalam laporan tersebut ada wacana tentang pengembangan e-waste  dari produk elektronika, yang sudah tidak terpakai dan telah menjadi limbah.

Lima (5) asosiasi sektor elektronika tersebut keberatan apabila ada kebijakan e-waste  dibebankan dan membebani industri elektronika, dimana produk elektronika yang sudah dibeli dan digunakan oleh masyarakat sebagai konsumen terakhir dan kemudian jika akan dibuang, merupakan limbah elektronik dari masyarakat itu sendiri, bukan merupakan limbah industri. Oleh karenanya tidak tepat jika beban sampah elektronika masyarakat, dibebankan pada industri elektronika dalam negeri, sedangkan produk impor malah akan sulit untuk dibebani kewajiban ini, sehingga sangat membebani industri elektronika dalam negeri.

Pada saat ini, secara umum industri elektronika sedang berusaha untuk bertahan hidup untuk dapat tumbuh dan berkembang, sehingga apapun kebijakan Pemerintah tetap harus memperhatikan dan memahami juga kondisi industri elektronika saat ini.

Hampir semua kebijakan Pemerintah saat ini belum mampu menumbuhkan pasar bagi industri elektronika.  Akan tetapi kebijakan terbit justru memberi dampak  positif bagi kemudahan konsumen untuk mengakses pasar seluas-luasnya, Oleh karena itu, semakin mudah masyarakat untuk mencari akses impor barang-barang elektronika sesuai  kebutuhan. Sementara itu, berbagai regulasi telah membebani industri dan menurunkan daya saing.

Melalui surat tersebut, diharapkan agar Pemerintah mulai memikirkan kembali lebih serius bagaimana menumbuhkan kembali pangsa pasar dalam negeri. Menjadikan industri dalam negeri menjadi tuan di negerinya sendiri. Semoga.

bimbingan teknis GAMATRINDO kepada LSPro.

Pada tanggal 8 Pebruari 2019 salah satu anggota GAMATRINDO yakni  CV. Sentosa Elektrik, Cimahi telah mengirim staf yang ahli dibidang produksi dan Quality Control untuk memberikan bimbingan kepada staf PT. Sertifikasi Produk Indonesia. Bimbingan tersebut diberikan dalam rangka membangun pemahaman yang sama tentang proses produksi dan QC kepada auditor.  Sehingga akan terbentuk persepsi yang tidak berbeda bila auditor melaksanakan tugas mengaudit perusahaan yang dalam proses sertifikasi. Seperti diketahui PT. Sertifikasi Produk Indonesia telah mendapat akreditasi dari KAN sebagai LSPro diantaranya untuk produk luminer  lampu. Mudah-mudahan kerjasama antara  anggota GAMATRINDO dengan pelaku usaha lain dapat berkembang seirirng dengan semakin ketatnya persaing, tentunya dengan konsep saling menguntungkan dan melengkapi. Semoga.

FGD modul pelatihan PBDEs

Acara FGD modul pelatihan PBDEs di Jakarta. (10/1/2019)

Pada hari Kamis, tanggal 10 Januari 2019 di Jakarta, GAMATRINDO hadir dalam acara FGD konsep modul pelatihan pencegahan dan penanganan penggunaan flame retardant di sektor manufaktur, yang diselenggarakan oleh Kemenperin. Kegiatan ini merupakan tahap ke empat dari serangkaian kegiatan sebelumnya. Terakhir kegiatannya adalah pelaksanaan pelatihan di Jawa Timur, sebelumnya di Jawa Barat. Namun karena terbatas tempat peserta mungkin ada beberapa anggota GAMATRINDO yang tidak dapat mengirim karyawannya.

Polybromodiphenyl ethers (PBDE) termasuk kelompok Brominated Flame Retardants (BFR) yang paling umum digunakan sebagai penghambat api (flame retardant). BFR banyak dipakai karena harga yang murah dan efisiensi yang tingg dalam menghambat pembakaran dengan cara melepas atom bromin pada temperatur tinggi, atom bromin mengikat radikal bebas dan menghentikan reaksi kimia yang memulai pembakaran dan memungkinkan penyebaran api. PBDE yang banyak digunakan yaitu decaBDE (97% BDE-209), ditambahkan pada berbagai polimer plastik seperti polivinil klorida, polikarbonat, dan high-impact polystyrene (HIPS). Salah satu yang menggunakannya antara lain produk elektronik rumah tangga termasuk peralatan elektronik, dan untuk pelapis belakang di tekstil (furnitur, kendaraan bermotor, dan karpet).

Penggunaan jenis flame retardant khususnya PBDE dikuatirkan adanya potensi paparan bahaya  bagi kesehatan, yang mampu menganggu sistem hormon,  dalam perkembangan dan pertumbuhan seksual, penurunan sistem kekebalan tubuh, dan berpotensi menyebabkan kanker. Oleh karena itu  PBDE telah disetujui untuk masuk dalam daftar Persistent Organic Pollutants (POPs) dalam Konvensi Stockholm,  dan Pemerintah Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 2009 (Stockholm Convention 2009).

Dengan tujuan mengurangi emisi PBDEs dan UPOPs melalui perbaikan siklus manajemen produksi dan pengolahan plastik mengandung PBDEs, maka Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dan United Nations Development Programme, yang didukung oleh Global Environment Facility (GEF), menyusun pembuatan modul pelatihan. Saat FGD dilaksanakan merupakan hasil daripada uji coba penerapan modul pelatihan yang telah dilaksanakan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dalam diskusi saat FGD tersebut, berkembang wacana sertifikasi, baik melalui penyusunan SKKNI atau melalui Kebijakan Kemenaker. Namun GAMATRINDO mengingatkan kepada peserta rapat, disamping waktu pelatihan juga perlu dipertimbangka terkait adanya biaya sertifikasi. Dengan memahami  kondisi industri dalam negeri saat ini. Kita mengharapkan Pemerintah tidak gegabah menerbitkan kebijakan. Harus ada pedoman bagi K/L  untuk melakukan kajian manfaat dan dampak negatifnya yang sebelum diformulasikan dan dapat diterima oleh industri dalam negeri. Jangan dipaksakan sebuah kebijakan apabila menimbulkan beban bagi industri. Oleh karenanya GAMATRINDO mengusulkan agar tidak perlu adanya system sertifikasi tetapi dikembangkan pelatihan yang efektif tentang identifikasi dan pengelolaan PBDEs.

Evaluasi Akhir Tahun 2018

Menjelang  akan berakhirnya tahun 2018, pengurus GAMATRINDO mengajak semua pihak khususnya anggota GAMATRINDO untuk merenungkan permasalahan yang dihadapi industri lampu dalam negeri selama tahun 2018. Agar dapat diambil hikmahnya serta langkah berikutnya. Dari serangkain kegiatan yang melibatkan pengurus dan anggota GAMATRINDO, ternyata permasalahan standar masih menjadi isu utama, yang banyak memakan energi dan waktu.

Awal tahun 2018 dikejutkan dengan terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Secara Wajib Standar Nasional Indonesia Dibidang Ketenagalistrikan. Didalam peraturan tersebut terdapat pemberlakuan secara wajib SNI Luminer Lampu. Sesuai dengan lampiran I butir 8, semua jenis SNI Luminer  Lampu yang sudah diberlakukan secara wajib sejak tahun 2009  dan tidak efektif sampai saat ini,  dimasukan kembali sebagai ketentuan yang berlaku secara wajib. Sementara itu, GAMATRINDO pada saat pembahasan sudah menyatakan secara lisan dan tertulis keberatan atas konsep kebijakan tersebut. Namun entah kenapa, keberatan industri lampu dalam negeri tidak didengar. Meskipun dalam UU  No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dan PP No. 34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional mensyaratkan bahwa penerapan standar secara wajib  harus memperhatikan kesiapan dan kemampuan industri dalam negeri. Sampai saat ini tidak ada tanggapan secara resmi dari Kementerian ESDM atas surat keberatan dari GAMATRINDO.

Disamping juga ada upaya yang terus menerus oleh pihak lain untuk  mengusulkan diberlakukannya secara wajib SNI LED swaballast. Kembali disini, GAMATRINDO harus bereaksi dengan tegas, bahwa industri lampu dalam negeri untuk memproduksi lampu LED Swaballast masih dapat digolongkan sebagai infant industry. Sehingga pemberlakuan secara wajib SNI lampu LED swaballast akan menjadi beban, bukan menjadi unggulan dan tidak  akan meningkatkan daya saing industri lampu dalam negeri. Contoh kasus yang secara gambling dapat diliat pengalaman buruk dari penerapan SNI LHE  secara wajib. Penerapan secara wajib SNI LHE sejak tahun 2001, ternyata tidak efektif membendung impor, termasuk illegal, karena banyak celah yang dapat dimanfaatan dengan mudah. Termasuk teknologi LHE sudah dikuasai dengan baik oleh pabrikan dan dukungan Pemerintah di negara asal LHE impor.

Disamping itu, belum adanya dukungan kuat dari pihak-pihak terkait, sehingga sampai tahun 2018, industri lampu dalam negeri menjadi bagian dalam pengawasan barang beredar. Suatu faktor yang tidak dapat dibantah, bahwa dari satu sisi butuh adanya pertanggungjawaban anggaran yang telah digunakan, sementara disisi lain produk lokal secara mudah untuk ditelusuri dan ditindaklanjuti. Sementara itu, kalau ada masalah dengan produk impor, maka dengan mudah importir nakal menghilangkan jejaknya.

Belum persoalan satu selesai timbul lagi ide dari Pemerintah untuk membuat regulasi baru terkait dengan labelisasi hemat energi bagi LHE. Semula bersifat sukarela untuk LHE yang kurang dari 6500 K dan bersifat SDOC. Selanjutnya akan dikembangkan dengan melalui proses sertifikasi, sehingga akan menimbulkan beban biaya.

Pasar dalam negeri untuk lampu LHE masih ada, namun volumenya semakin turun. Dan pasar LHE  sebagian sudah ditinggalkan oleh pabrikan dari Tiongkok yang semula memproduksi LHE, sekarang sudah beralih memproduksi lampu LED. Sehingga dapat dikatakan industri lampu lokal sedang menikmati pasar LHE yang ditinggalkan oleh impor, karena dalam 3-4 tahun mendatang lampu LHE digantikan lampu LED. Seyogyanya Pemerintah memperhatikan perkembangan dari kedua jenis lampu tersebut. Dengan  memberikan kesempatan industri lampu LHE dalam negeri  untuk menikmati sunset industry LHE sebelum beralih sepenuhnya ke lampu LED secara nasional. Namun dengan adanya, konsep kebijakan tersebut timbul lagi kekuatiran bagi pelaku usaha , bahwa Pemerintah ingin mempercepat kematian industri LHE dalam negeri, melalui beban yang akan ditanggung dengan adanya proses sertifikasi.

Memasuki kuartal ke IV tahun 2018, kembali Pemerintah akan menerapkan standar minimum kinerja lampu LED swaballast. Dalam pembahasan internal GAMATRINDO, pemberlakuan kebijakan tersebut memberi kesan adanya target yang akan dicapai oleh Pemerintah. Seyogyanya Pemerintah melakukan tahapan dengan Risks Impact Assessment  (RIA). Sehingga suatu regulasi yang akan disusun seyogyanya lebih dahulu dikembangkan kesamaan pandang tentang rencana kebijakan tersebut dengan pelaku usaha khususnya dengan industri dalam negeri. sebagai pihak yang pertamakali akan mengalami dampaknya. Bukan pembahasan hanya dengan industri multinasional yang mempunyai jaringan secara global, disamping permodalan kuat bahkan siap mendanai pembahasan tersebut,

Mengutip seminar yang dilaksanakan oleh Sekretariat Negara, yang bertopik Surplus Regulasi Menurunkan Daya Saing, bahwa beban dari berbagai regulasi saat ini telah banyak menjadi keprihatinan industri lampu dalam negeri, dibandingkan dengan beban yang diterima oleh importir. Oleh karena itu cukup wajar bagi pelaku usaha bahwa apabila dirasakan beban regulasi tidak mampu lagi diatasi, maka perubahan bisnis dari produsen menjadi importir, suatu yang wajar. Sehingga pengurangan tenaga kerja akan dapat segera terwujud.

Menjelang akhir tahun 2018 timbul isu yang terbaru adalah, mengenai ada kenaikan 400% biaya pengurusan PPTI di Kawasan industri SIER, dengan basis perhitungannnya adalah nilai pasar dari daerah kawasan.                                                                                                    Sementara kawasan industri tersebut adalah milik Pemerintah, yang seyogyanya memberi keringanan dan kemudahan bagi industri yang berlokasi didalam kawasan. Kenaikan biaya tersebut suatu bentuk regulasi Pemerintah  yang samasekali tidak berpihak kepada program nasional industrilialisasi. Negara tetangga memberikan kemudahan untuk mencari lahan industri, dalam rangka menarik investasi.

Secara kasat mata bahwa untuk menjadi negara maju yang sejahtera, maka negara tersebut harus mempunyai industri yang kuat. Untuk itu industri yang  belum tumbuh harus ditumbuh kembangkan. Sedangkan industri yang sedang berkembang harus dilindungi dari persaingan tidak sehat. Oleh karena itu,  kesepakatan dan pemahaman untuk membangun industri  harus kuat dimiliki semua sektor, dan diimplementasi secara all out serta multidisplin. Perlu dihindari bahwa atas nama Undang- Undang, maka Kementerian/Lembaga terkait melaksanakan kebijakan sendiri-sendiri tanpa memperhatikan bagaimana susah payahnya membangun industri mulai dari proses ijin usaha, dan pembangunan sarana-prasarana, pengadaan fasilitas/permesinan produksi sampai produk siap untuk diedarkan dipasar.

Diakui atau tidak diakui  dalam kenyataannya semua regulasi yang sekarang diterbitkan Pemerintah sampai saat ini hanya menjadi beban bagi industri lampu dalam negeri, belum ada regulasi yang memberi stimulus mendorong kearah pertumbuhan.

Sehingga sampai akhir tahun 2018, tidak ada perubahan pola pendekatan dalam perumusan regulasi yang diterbitkan Pemerintah dibandingkan tahun 2017. Hal ini memberi kesan penerbitan regulasi merupakan dalam upaya untuk mencapai target kinerja, yang seharusnya memberi manfaat kepada pelaku usaha.

Isu penggunaan produksi dalam negeri masih menjadi slogan, belum terlihat komitmen kuat untuk melaksanakannya. Meskipun sudah bebagai aturan diperbaiki dan ditambah dengan aturan baru. Semangat penggunaan dalam negeri hanya tampak pada saat rapat dan seminar, sekedar menjadi catatan dan notulen rapat. Sehingga GAMATRINDO mempertanyakan keseriusan Pemerintah untuk membangun pasar dalam negeri bagi industri lokal. Kebijakan terakhir yang diterbitkan adalah Keputusan Presiden No.24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Namun sampai saat ini, sampai menjelang berakhirnya tahun 2018, belum terdengar langkah yang telah dilakukan Pemerintah, atau Pemerintah melakukan langkah yang senyap, Wallahu a’lam.

Berdasarkan sambutan Gubernur Bank Indonesia dalam pertemuan Bank Indonesia akhir tahun 2018, bahwa pada tahun 2019 kondisi ekonomi global belum kondusif, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dan penuh ketidakpastian akan berlanjut pada tahun 2019 Sehingga himbauan Gubernur BI untuk melakukan sinergi  untuk ketahanan dan pertumbahan merupakan suatu faktor yang sejak dahulu dinantikan. Semua kementerian dan lembaga Pemerintah bersama semua elemen masyarakat termasuk pelaku usaha harus sama-sama saling mendukung. Hilangkan semua faktor egoisme. Ciptakan saling mendukung bukan saling ingin mendapat pujian. Semua pihak tidak dapat mencapai keberhasilan dengan tangan sendiri, keberhasilan merupakan hasil kerja bersama. Harapannya adalah membangun kembali optimisme dunia usaha dalam menghadapi ketidakpastian global di tahun 2019, dengan berani untuk mengevaluasi kembali berbagai kebijakan/peraturan yang tidak produktif bahkan cenderung menghambat investasi dan inovasi. Semoga.